Internet menjadi salah satu kebutuhan. Berbagai generasi dari Gen Z hingga Baby Boomers pun telah menggunakan internet. Kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini pun tidak lepas dari internet. Dengan frekuensi perharinya mencapai 5 jam dan banyak digunakan untuk platform media sosial.
Dalam penggunaan media digital, kita perlu mempelajari dan memahami prinsip etis dalam menggunakannya. Tanpa etika, kita dapat meninggalkan jejak digital yang kurang baik. Jejak digital di era ini digunakan banyak pihak untuk menentukan keputusan penting, seperti melamar kerja.
“Ketika kita akan melakukan aktivitas di dunia nyata, seringkali kita berhadapan dengan kenyataan bahwa media sosial kita akan dilirik atau ditengok orang lain. Tidak perlu khawatir kalau kita menggunakannya dengan bijak dan memberikan konten positif. Tidak mengherankan orang yang memiliki perilaku dan sikap positif itu disukai,” jelas Mario Antonius Birowo, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di Kabupaten Subang, Jawa Barat, Selasa (13//7/2021).
Ia mengatakan, alasan kita harus bijak dalam berkomentar di ruang publik karena komentar kita bisa membahayakan diri dan orang lain. Ini menunjukkan apa yang kita lakukan dengan teknologi dapat mempengaruhi nasib kita dan orang lain.
“Kenyataannya, sesuatu telah banyak berubah pada era digitalisasi. Perubahan itu bersifatnya sangat cepat. Media digital mengubah cara kita berkomunikasi, berbisnis, dan belajar. Perubahan yang cepat ini sering kali membuat kita tergagap dan bingung. Terutama ketika kita siap dan tidak memiliki panduan untuk bersikap dan bertindak,” paparnya.
Ia menjelaskan, kondisi paling dasar adalah kita memiliki panduan, di mana hal tersebut akan berguna. Hal yang harus dihindari adalah membuat semacam perundungan dalam dunia digitaL Contoh sederhananya adalah body shaming, sesuatu ini dianggap biasa akan tetapi beberapa teguran dan protes dari masyarakat mengenai warna kulit dan bentuk tubuh. Body shaming dianggap tidak etis karena semacam bentuk sikap tidak rmenghormati orang lain.
Selain itu, mengenai hoaks juga harus diperhatikan. Hoaks ini mempengaruhi pola pikir masyarakat. Apabila ada yang menerimanya secara mentah-mentah tanpa di crosscheck terlebih dahulu. Oleh karena itu, saring sebelum sharing dapat digunakan sebagai upaya pencegahan penyebaran hoaks. Pikirkanlah sebelum kita memposting sesuatu. Jangan juga sebagai pengguna media digital kita terlibat dengan aksi ujaran kebencian, yaitu ungkapan atau ekspresi orang untuk menyakiti seseorang atau sekelompok dengan sengaja.
Menurutnya, dalam mengatasi konten negatif, dapat dilakukan dengan cara mencintai diri sendiri, menjadi diri sendiri, dan bergaul dengan teman-teman yang positif. Jangan berhubungan dengan sesuatu yang negatif atau toxic di media digital. Etis bermedia digital juga dapat membantu dalam membuat pilihan dan tindakan yang benar saat menggunakan media digital.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Subang, Jawa Barat, Selasa (13/7/2021) ini juga menghadirkan pembicara, Ryzki Hawadi (CEO & CO-Founder Attention Indonesia), Devie Rahmawati (Dosen Vokasi Universitas Indonesia), Rizky Ardi Nugroho (Entrepreneur/Pdcaster/Youtuber), dan Clarissa Darwin sebagai Key Opinion Leader.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital melibatkan 110 lembaga dan komunitas sebagai agen pendidik Literasi Digital. Kegiatan ini diadakan secara virtual berbasis webinar di 34 Provinsi Indonesia dan 514 Kabupaten.
Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024. Berlandaskan 4 pilar utama, Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.