Semua aspek kehidupan saat ini bersinggungan dengan dunia digital, seperti bekerja, hiburan, kesehatan, dan belanja. Karena itu, kita jadi harus beradaptasi dengan dunia digital agar bisa bertahan hidup. Proses adaptasi dari kovensional ke digital ternyata tetap perlu memperhatikan etika. Dalam dunia digital, tentu etika yang kita gunakan ialah etika digital.
Informasi merupakan salah satu hal yang dibutuhkan dan bisa berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Akan tetapi, pernahkah kita membayangkan bahwa informasi yang diterima merupakan informasi palsu atau bohong? Di dunia digital, informasi palsu yang lebih familiar disebut hoaks ini banyak sekali beredar dan tidak jarang berakibat negatif. Dengan demikian, penyebaran informasi di dunia digital pun memerlukan adanya etika digital.
“Pastikan informasi yang kita sebarkan itu adalah benar dan bisa dipertanggungjawabkan serta bukan hoaks,” ujar Fibra Trias Amukti, Editor in Chief Mommies Daily, selaku pembicara dalam Webinar Literasi Digital wilayah Ciamis, Jawa Barat, Jumat (6/8/2021).
Di negara kita, edukasi terhadap hoaks masih terus digalakkan. Hoaks sangat mudah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Lama-kelamaan tanpa disadari hoaks ini bisa menjadi racun dalam kehidupan kita, terutama masyarakat Indonesia. Menurut data di tahun 2017 terdapat 800ribu situs penyebar hoaks. Ketika kita melihat kondisi pandemi, dalam kurun waktu satu tahun terdapat 1.733 berita hoaks seputar covid saja.
Fibra atau akrab disapa Fia ini menjelaskan bahwa masyarakat hingga saat ini masih kesulitan dalam menghindari dan mengenali berita hoaks. Faktanya, sebesar 60% masyarakat Indonesia terpapar hoaks di dunia digital. Biasanya topik berita hoaks seputar politik, SARA, dan kesehatan yang disebarkan melalui media sosial. Salah satu yang viral dan membuat heboh ialah hoaks mengenai kasus Ratna Sarumpaet yang dianiaya.
Hoaks ini bertujuan untuk menciptakan keresahan di masyarakat, memprovokasi, kampanye hitam, hingga menghasut orang untuk berbuat negatif. Pemicu hoaks mudah tersebar di negara kita ini didasari oleh kemampuan literasi masyarakat yang sangat rendah. Banjirnya informasi dunia digital membuat masyarakat kaget dan menerima saja informasi tersebut tanpa berpikir kritis dan memverifikasinya.
“Hoaks ini ibarat racun. Jika dikonsumsi terus menerus akan sakit dan dampaknya juga berbahaya. Dampak hoaks ini mempengaruhi kesehatan mental dan fisik, finansial, relasi sosial, hingga nyawa,” terang Fia.
Setiap individu atau masyarakat memiliki tanggung jawab atas penyebaran hoaks. Akan tetapi, kita bisa berhenti menyebarkannya dengan mengasah diri untuk berpikir kritis, meningkatkan kemampuan literasi, mengenali ciri berita hoaks (provokatif, situs web, judul dan isi yang berbeda), dan selalu cari berita pembanding. Bergabung di dalam komunitas anti hoaks juga bisa menjadi salah satu cara supaya tidak semakin berkembang.
Internet yang mencakup semua kalangan ternyata perlu diwaspadai terlebih dengan maraknya berita hoaks. Oleh karena itu, pentingnya edukasi terkait hoaks kepada anak-anak dan baby boomer. Dua generasi ini sangat rentan terkena berita hoaks. Pada baby boomers, usia mempengaruhi kemampuan literasi dan kognitid seseorang. Sementara itu, pada anak perkembangan otaknya belum sempurna dan keputusan yang mereka ambil masih berdasarkan emosi.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Ciamis, Jawa Barat, Jumat (6/8/2021) juga menghadirkan pembicara, Daniel Hermansyah (CEO of Kopi Chuseyo), Loka Hendra (Head of Food & Beverage Cinepolis Indonesia), Roky R. Tampubolon (Praktisi Hukum), dan Janna S. Joesoef.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.