Pengguna internet di Indonesia meningkat sebanyak 8,9 persen atau menjadi 171 juta jiwa pengguna pada 2020 membuat kewaspadaan terhadap ancaman kejahatan cyber semakin tinggi. Diketahui selama pandemi, jumlah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) meningkat.
Catatan dari Komnas Perempuan bersama Lembaga Pengadalayanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Bareskim Polri saat ini KBGO masih memiliki tantangan. Di antaranya keterbatasan lembaga rujukan, hingga dampak digital untuk korban. Keterbatasan sistem hukum dalam merespon juga masih terjadi, tetapi yang penting jangan takut melapor. Berkaitan dengan itu, kekerasan seksual digital menurut Komnas Perempuan ada banyak jenisnya.
Di antaranya cyber hacking, yakni melakukan peretasan dengan tujuan mendapatkan informasi, bahkan stalking atau menguntit juga termasuk di dalamnya, hingga cyber harassement yang berkaitan dengan perundungan sosial dengan komentar negatif, dan banyak jenis lainnya.
“Selain dampak positif dari internet ada juga dampak negatif, yaitu kekerasan berbasis gender online,” Kata Siti Aminah, Komisioner Komnas Perempuan saat webinar Literasi Digital wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat I, Selasa (29/6/2021)
KBGO yang paling banyak terjadi adalah online grooming di mana pelaku berusaha melakukan pendekatan untuk memperdayai. Kemudian ada malicious distribution yaitu ancaman distribusi foto atau video pribadi penghinaan yang dilakukan dengan bantuan teknologi, komputer dan atau internet, dengan penyebaran konten intim.
“Bentuk kekerasan gender berbasis online harus diinformasikan agar kita tidak jadi pelaku dan tidak jadi korban dan agar kita jadikan internet ruang yang aman,” ujar Siti.
Siti menyebutkan, biasanya antara korban dan perilaku KBGO lebih banyak terjadi di ranah personal. Di mana ada relasi antara korban dan pelaku dari penyebaran video atau foto porno. Kemudian konten tersebut dikirimkan tanpa persetujuan di ranah personal.
Dari kasus-kasus yang dihimpun, terdapat 4 pola terkait KBGO. Pertama kekerasan terhadap perempuan di dunia nyata yang dilakukan juga di dunia siber seperti pelecehan seksual non fisik berupa komentar, pengiriman foto atau video atau teks yang merendahkan, termasuk menguntit, serta mencemarkan perempuan.
Pola kedua kekerasan di dunia nyata berlanjut di dunia cyber, bukti alat video menjadi alat control. Ketiga, yang harus jadi perhatian ke anak-anaknya dan pada perempuan dewasa adalah online grooming. Di mana pelaku di awal berusaha membangun ikatan untuk memperdayai korban. Pola keempat adalah alat pemenuhan prestasi hal ini terjadi dalam pinjaman online di mana korban diintimidasi dan dipaksa membayar dengan layanan seksual atau mengirimkan foto dan video porno korban.
“Cara mencegah, jangan membuat konten intim ketika relasi sedang baik, karena saat ini ruang digital begitu mudah untuk menyebarkan data pribadi termasuk konten yang menyerang secara personal,” ujarnya lagi.
Webinar Literasi Digital wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat I, kali ini menghadirkan pula nara sumber lainnya seperti Oleg Sanchabahtiar Creative Concept & Director Planet Design Indonesia, Oritza Sativa seorang Psikolog dan CEO Codelite Rizky Arnosa. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya digital skills, digital ethics, digital safety dan digital culture untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.