Sederhananya, etika ialah tentang perilaku baik dan buruk. Dalam ruang digital, ekspresi orang yang beretika dapat dilihat lewat caranya berkomunikasi. Maka, etika diinternet didasarkan pada komunikasi yang beradab dan bermartabat.
“Kunci kesuksesan orang-orang terkaya di dunia bukan uang, bukan juga modal. Justru komunikasi itulah jawaban kenapa mereka bisa menjadi orang kaya raya. Begitu pun dengan komunikasi yang terjadi di dunia digital,” tutur Devie Rahmawati, Dosen Vokasi Universitas Indonesia, dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (12/7/2021).
Komunikasi netizen di Indonesia pada ruang digital memprihatinkan. Indonesia mendapat cap netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara dari Microsoft Office. Kemudian, hasil survei tersebut diprotes netizen Indonesia dengan komentar tidak pantas. Selain itu, studi menyatakan pengguna internet di Indonesia paling sering berkomentar dalam urusan penampilan, prestasi, ras, dan orientasi seksual.
“Kita dikenal menjadi masyarakat dengan budaya yang marah bukannya ramah dan masyarakat yang berang bukan terang. Budaya dasar yang tidak sehat terjadi karena orang melupakan kemampuan etika dasar kemanusiaan,” jelasnya.
Devie merangkum terdapat 8 budaya digital masyarakat yang berbahaya. Budaya tersebut di antaranya palsu, tidak membumi, budaya tanpa privasi, bising dalam sepi, budaya lemah hati (baper), budaya tinggi hati (pamer), budaya haus apresiasi, serta budaya sensasi dan kontroversi.
Budaya palsu mengedepankan gaya hidup yang benar-benar melenceng dari realita. Budaya tidak membumi sama dengan budaya masyarakat egois, di mana seseorang mengedepankan dirinya sendiri tanpa peduli orang lain. Budaya tanpa privasi yakni oversharing.
Lanjutnya, budaya bising dalam sepi mengetahui berbagai informasi hanya melalui internet tanpa mengetahui dampaknya, seringkali membuat pengguna terutama generasi Z menjadi mudah stress. Budaya lemah hati atau baper, sama dengan mudah tersinggung. Budaya tinggi hati (pamer), di era digital ini berbagi hal-hal yang belum tentu baik, pamer tanpa tujuan yang baik dapat membahayakan diri sendiri.
Kemudian, budaya haus apresiasi dapat memudahkan berita hoaks tersebar. Karena pengguna ingin diapresiasi telah menyebarkan informasi meski itu berupa hoaks. Budaya sensasi banyak ditemukan pada pengguna internet Indonesia yang rela melakukan apapun agar menjadi terkenal. Kebanyakan juga sensasinya mengarah kepada dampak negatif.
Ia mengatakan, etika digital harus berdasarkan nilai pancasila yang diamalkan, di antaranya pengendalian diri, pertanggungjawaban sosial, persaingan ekonomi sehat, perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan, pembangunan berkelanjutan, pemutusan praktik koruptif, dan pergaulan positif.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (12/7/2021) ini juga menghadirkan pembicara I Gusti Ayu Alma (Digital Marketer & Personal Branding Coach), Rita Gani (MAFINDO, Japelidi, dan FIKOM Unisba), Ariwibowo Sasmito (Co-Founder & Fast Check Specialist Mafindo), dan Shinta Noza sebagai Key Opinion Leader.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital melibatkan 110 lembaga dan komunitas sebagai agen pendidik Literasi Digital. Kegiatan ini diadakan secara virtual berbasis webinar di 34 Provinsi Indonesia dan 514 Kabupaten.
Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024. Berlandaskan 4 pilar utama, Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.