Formula peta perjalanan atau _travel pattern_ bagi wisatawan guna meningkatkan kualitas pariwisata baik bagi wisatawan maupun terhadap industri. Termasuk di kawasan Joglosemar (Jogja, Solo, Semarang) dengan Candi Borobudur sebagai magnet utama atau daya tarik.
Hal itu diungkapkan, Sandiaga Salahudin Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dalam kunjungan kerjanya ke Jawa Tengah, (1/4/2021) malam.
“Tidak hanya mendengarkan langsung keluhan dari masyarakat pariwisata dan ekonomi kreatif, tapi juga saya ingin memberikan semangat, menebar motivasi. Kita telah menyiapkan opsi-opsi untuk bangkit dan pulih,” kata Sandiaga.
Opsi-opsi tersebut diantaranya program bantuan pemerintah seperti perluasan dana hibah pariwisata hingga adaptasi seperti inovasi di bidang aplikasi. Saat ini pemerintah dikatakannya tengah mengembangkan satu aplikasi yang dapat membantu memastikan pembatasan kerumunan pengunjung di satu destinasi sehingga penerapan protokol kesehatan yang ketat dan disiplin dapat terjaga.
“Terakhir bagaimana kita bisa mengintegrasikan desa wisata ke sejumlah tempat rekreasi yang dikelola oleh swasta, bekerja sama dengan komunitas, masyarakat, dan pemerintah daerah juga,” kata Sandiaga.
Terkait terintegrasi desa wisata ke destinasi-destinasi lainnya, Menparekraf menekankan pentingnya peta perjalanan (travel pattern). Hal itu pula yang saat ini tengah dikembangkan oleh Kemenparekraf.
Peta perjalanan tidak hanya dapat memberikan pengalaman lebih bagi wisatawan dan mewujudkan pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan, tapi juga sesuai dengan segmentasi pariwisata ke depan yang lebih _personalize_, _customize_, _localize_ dan _smaller in size_.
_Personalized_ dimana wisatawan akan lebih kepada pariwisata pribadi atau hanya dalam lingkup keluarga. Kemudian _customize_ dimana para traveler akan berwisata dengan minat khusus seperti wisata berbasis alam.
_Localize_, yakni wisatawan akan lebih memilih destinasi yang jaraknya tidak terlalu jauh atau maksimal 250 km antar destinasi. Sementara _smaller in size_ adalah pariwisata dengan jumlah pengunjung di setiap destinasi wisata yang tidak terlalu masif.
“Saat saya mendarat di Semarang dan menuju desa wisata Lerep. Pattern-nya kalau saya bergerak ke arah selatan saya akan menginap di daerah selatan Kabupaten Semarang, atau di Utara Kabupaten Magelang. Untuk itu, kemampuan kita berinovasi untuk membuat _travel pattern_ Joglosemar yang bervariasi dan dapat memberikan suatu pengalaman sendiri. Borobudur itu magnetnya, tapi Joglosemar ini adalah patternnya,” ujarnya.
Penyusunan travel pattern ini suatu inovasi dalam pengembangan pariwisata agar lebih berkualitas. Jumlah hari yang lebih meningkat dan kualitas dari pengeluaran sisi pariwisata dan wisatawan itu bisa lebih baik kedepannya.
“Ada beberapa daerah yang kita bisa kembangkan travel pattern, seperti di Jawa Timur yang memiliki magnet wisata Bromo Tengger Semeru (BTS), namun peta perjalanan sebelum ke BTS bisa ke Malang, Banyuwangi, dan Surabaya itu yang sedang kita kembangkan lantaran hal tersebut menjadi tren wisata era baru,” ujarnya.
Sandiaga mengatakan, di tengah pandemi COVID-19 semua orang dituntut harus beradaptasi dan memiliki cara pandang baru untuk menyiapkan opsi bangkit dan untuk pulih, seperti inovasi di bidang aplikasi untuk memastikan kegiatan pariwisata tidak berkerumun dan terpenuhi jumlah kapasitas pengunjungnya.
“Bagaimana mengintegrasikan desa wisata ke destinasi-destinasi yang sekarang dikelola oleh swasta yang bekerja sama dengan komunitas dan pemerintah. Seperti tadi ada di desa wisata Sidomukti, Kampung Kopi Banaran, Svarga Bumi,” kata Sandiaga.