Jakarta, Vakansi – Health Collaborative Center (HCC) menyatakan masyarakat sudah mengetahui adanya stunting, namun tidak dengan ancaman kesehatan dan dampak buruknya bagi masa depan seorang anak.
“Meskipun pemerintah gencar memprioritaskan penanganan stunting, namun pemahaman masyarakat terhadap isu ini tampaknya belum memadai,” kata Ray Wagiu Basrowi, Peneliti Utama dan Chairman HCC dalam Media Briefieng Pemahaman Stunting yang diikuti di Jakarta, Selasa.
Dalam penelitian yang dilakukan HCC, ditemukan bahwa dampak dari upaya pemerintah dalam menggencarkan edukasi stunting mulai terasa. Terbukti dengan 95 responden mengaku mengetahui stunting dan 98 persen di antaranya percaya bahwa stunting terjadi di Indonesia.
Bahkan 65 persen masyarakat percaya stunting berkaitan erat dengan kehidupan keluarga. 54,5 persen percaya stunting disebabkan oleh asupan makanan dan minuman yang diberikan pada anak, serta 52 persen lainnya menyatakan stunting terjadi karena keluarga tidak mampu membelikan pangan bergizi.
“Persepsi masyarakat tersebut, juga dibuktikan dengan pemahaman masyarakat bahwasanya penyebab utama terjadinya stunting adalah pola makan, kemiskinan dan pengetahuan terkait stunting,” katanya.
Sayangnya, dalam penelitian juga ditemukan kalau 62 persen masyarakat tidak mempercayai stunting disebabkan oleh pola asuh orang tua kepada anak. Terdapat juga empat pemaknaan stunting yang tidak tepat. Masyarakat tidak percaya anak tidak rentan terkena stunting pada kehamilan yang kurang gizi dan bayi dengan berat lahir rendah rentan terkena stunting.
Kemudian responden tidak percaya stunting menghambat perkembangan otak atau kognitif anak, juga stunting dianggap tidak berhubungan dengan pola asuh orang tua.
Ray mengungkapkan, dalam enam indikator pemaknaan negatif soal stunting, penelitian juga menemukan bahwa banyak responden tidak setuju stunting disebabkan faktor kurang gizi, stunting tidak berhubungan dengan ketidakmampuan membeli pangan sumber gizi, stunting bukan kondisi medis serius dan stunting tidak mempengaruhi kondisi keluarga.
Bahkan ketika dilakukan analisis lanjutan konsistensi antara pemaknaan stunting terhadap persepsi, keenam indikator yang salah kaprah itu, sejalan dengan perceptive barrier dari responden.
Sebanyak 22 responden tidak setuju bahwa stunting adalah ancaman kesehatan, 10 persen responden tidak setuju dampak stunting akan berat untuk anak dan negara, bahkan lebih dari 40 persen responden meyakini ancaman COVID-19 jauh lebih serius dibanding stunting.
“Ini menunjukkan bahwa faktor-faktor terkait seberapa efektif masyarakat menerima informasi dan edukasi tentang stunting diduga masih belum optimal,” ujarnya.
Oleh karenanya. Ray menyarankan agar pemerintah mulai memantapkan metode edukasi stunting dengan pembahasan yang sederhana dan sebanyak mungkin menggunakan pola seperti edukasi protokol selama pandemi yang menggunakan kekuatan media sosial.
“Kami juga mengajukan potensi rekomendasi terkait pemantapan pemahaman masyarakat terkait stunting. Di antaranya perlu ada penyegaran konsep komunikasi stunting yang berorientasi dampak serius dari stunting serta bagaimana stunting ini sebenarnya bisa dicegah sejak awal,” katanya.
Sebagai informasi, HCC melakukan penelitian dalam periode September-November 2022 dengan menggunakan metode Health Belief Model (HBM), cross-sectional beserta koleksi data simultan dan survey kuesioner online waktu terbatas.
Analisis penelitian dilakukan secara deskriptif dan analisis univariate serta critical appraisal untuk aspek perspektif subjek. Sebanyak 1.676 responden bersedia mengikuti survey dan berasal dari 31 provinsi.