Dengan adanya internet dan media sosial siapapun kini dapat memproduksi konten dengan mudah. Kontennya dapat berupa narasi, foto, video dan infografis lainnya. Tentunya bukan hanya dapat memproduksi, namun kita juga dapat menikmati konten tersebut.
Maka, masyarakat sekarang disebut prosumen memproduksi juga konsumen konten. Permasalah terjadi, kondisi ini membuat banjir informasi, informasi datang silih berganti dalam hitungan menit bahkan detik. Tersebar melalui media sosial, media mainstream maupun pesan pribadi.
Dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 untuk wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (10/6/2021), Dedy Helsyanto, Kordinator Program Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mengatakan, banjir informasi di dunia digital membuat konten negatif, tidak etis, tindak kejahatan berpeluang semakin besar terjadi.
Selain kekacauan informasi yang juga bermasalah cukup serius ialah konten negatif seperti pornografi, judi online, hacking, plagiasi, cyber bullying. “Untuk mengatasinya, dimulai dari memahami bentuknya terlebih dahulu dan bagaimana itu bisa terjadi sampai bagaiman cara mengatasinya,” ujarnya.
Menurut firstdraftnews.org, lembaga yang konsen terhadap kebenaran fakta dan data di media, membagi informasi ke dalam tiga bagian, misinformation, disinformation dan malinformation.
Misinformation atau kabar yang dibagikan menyerang orang atau pihak lainnya namun terjadi tidak sengaja. Penyebar informasi tidak mengetahui jika itu informasi bohong. Dedy menyebut bentuk misinformation ini ialah koneksi yang salah dan konten yang menyesatkan.
Maksud koneksi yang salah ialah biasanya ketika ada yang memproduksi konten, judul foto atau video dan isi tidak berhubungan. Sedangkan konten yang menyesatkan ialah biasanya identik dengan pemelintiran data pemilih pemilu terhadap satu individu terhadap sebuah peristiwa.
Disinformation, kabar yang keliru dan orang itu tahu kabar itu keliru. Tetapi sengaja disebarkan kepada pihak lain. “Tujuannya untuk merugikan pihak lain, bentuknya, isi konten sudah jelas salah karena memang sengaja untuk berbohong,” sambungnya.
Disinformation ini juga dapat dibagi kategori lain yakni konten imposter dan konten manipulatif. Konten-konten yang salah yang sering beredar, jika ada salah satu foto asli dibagikan tahun 2015 tapi disebut itu foto tahun 2021. Konten itu jelas salah karena sudah ada perbedaan waktu. Belum lagi nanti akan ditambahkan lagi isu atau tema dari peristiwa tersebut yang terjadi di dalam foto.
“Konten imposter ini juga biasanya yang dipakai oleh para pembuat kekacauan informasi untuk mengelabui para netizen. Misalkan ada pemberitahuan dari satu media daring, namun mereka membuat logo media tersebut, dibuat serupa tapi judulnya diubah. Isinya pun dipelintir sama pembuat hoaks, semakin banyak para jago untuk mengedit foto dan mengedit video makin banyak orang yang rentan terhadap manipulatif dan turut melakukannya.
Konten yang dimanipulasi misalkan ada foto yang ditambahkan narasi provokatif yang berbau SARA kemudian ada video-videonya dipotong-potong lalu ditambahkan narasi yang berbau SARA.
Jenis informasi ketiga ialah, malinformation informasi benar hanya dipakai untuk menyudutkan atau mendiskriminasi orang lain. Misalnya, melakukan pengucilan melakukan pelecehan baik itu terhadap fisik terhadap nilai-nilai kepercayaan, keyakinan, orientasi seksual. itu yang dilakukan oleh para pembuat kekacauan informasi dan ini bisa kita masukkan ke dalam bentuk kejahatan cyber yakni ujaran kebencian.
Ujaran kebencian, menurut Dedy merupakan bentuk dari eksklusifitas, intoleransi, keegoisannya sebuah kelompok. Mereka hanya melihat dirinya sendiri, dia bisa melihat orang lain bisa seperti itu akhirnya melakukan pencemaran nama baik dan melakukan provokasi yang membuat kita terpecah tak terpolarisasi di ruang digital.
Contoh peristiwanya dapat dilihat kemarin saat 2019. Pada saat momen pemilu serentak bagaimana ada kelompok dibagi dua. Julukan cebong ataupun kampret disematkan untuk mendukung capres 1 dan 2.
“Kami Mafindo ini juga kena julukan mereka, saat kami melakukan pemeriksaan fakta yang menyerang Pak Jokowi, kami disebut cebong. Ketika akan melakukan pemeriksaan Pak Prabowo kami dijuluki kampret. Makanya kami sering diledek Bongmpret spesies baru atau gabungan dari kedua spesies ini,” ungkapnya. Itu dia menjadi masalah dan sampai dengan sekarang itu masih terjadi yang menyebut julukan itu walaupun jumlahnya atau presentasinya tidak sebesar pada saat pelaksanaan pemilu.
Gerakan Literasi Digital Nasional 2021 merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini diprakarsai Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemkominfo RI) bersama Siberkreasi. Gerakan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada tahun 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.
Dalam webinar kali ini juga turut hadir Dicky Renaldi (Kreator Siberkreasi), Acep Syaripudin (Kordinator Digital Literasi ICT Watch), Moh. Ridwan (Relawan TIK Indonesia), dan Konten Kreator Yohana.