Pesawat masih melayang–layang di langit Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, ibu kota Provinsi Bangka-Belitung, tetapi dari langit Bangka sudah terlihat keistimewaan dan ciri khas salah satu kabupaten negeri Serumpun Sebalai—sebutan untuk provinsi Bangka-Belitung—ini: kolong dan hamparan pasir putih di pantai. Kolong, itulah ceruk bekas tambang timah, yang oleh pemerintah setempat dijadikan obyek wisata. Ya, obyek wisata di Bangka sudah menjadi lokasi wisata yang baru bagi turis.
Bangka dan timah memang tak bisa dilepaskan begitu saja, walau timah itu kini sudah bisa dibilang langka. Nama “Bangka” itu sendiri berasal dari kata wangka yang maknanya adalah ‘timah’. Dulu, setelah penjajahan Belanda, kekayaan Bangka ini dikuasai oleh PT Timah yang memonopoli pengerukan timah dari perut bumi Bangka. Kemudian, entah siapa yang memeloporinya, penduduk berlomba-lomba mengeruk tanah demi segenggam timah di kawasan yang belum dikuasai oleh PT Timah. Sewaktu masih jaya-jayanya, harga timah Bangka bisa sampai Rp 100.000 per kilogram. Di dunia, timah Bangka termasuk kategori bermutu “A”.
Dan zaman pun berputar, harga timah dunia menurun. Bukan saja PT Timah, juga penduduk mulai enggan menggali-gali lagi. Kolong-kolong itu pun ditelantarkan, meninggalkan lubang-lubang menganga di mana-mana. Ceruk-ceruk itu rawan longsor di musim hujan. Masyarakat Bangka pun tidak bisa hidup mewah seperti dulu lagi, ramai-ramai berbelanja ke Singapura.
Wisata Bahari Di Bangka
Hilang timah, laut pun terbilang. Tiba-tiba orang Bangka melihat ada sektor lain yang berpotensi besar: wisata bahari. Benar, pantai-pantai di Bangka menawarkan sejuta keindahan yang jarang ditemui di pantai-pantai lainnya di Indonesia. Dengan kontur landai, pasir yang putih, dan batu-batu besar yang bertebaran, pantai di Bangka menawarkan satu “pelarian” bagi mereka yang jenuh bertatap muka dengan hitam beton di kota-kota besar, termasuk Jakarta. Pantai-pantai tersebut pun menjadi obyek wisata di Bangka yang populer.
Memang, pantai-pantai di Bangka masih sangat alami, belum dikelola secara profesional, dan karena itu terbuka untuk siapa saja tanpa membayar. Apakah Anda hendak berenang atau sekadar duduk-duduk menikmati deburan ombak, semuanya gratis. Di Pantai Tanjung Pesona, misalnya, Anda bisa merasakan nikmatnya “memiliki” pantai pribadi sebab sangat jarang wisatawan yang berkunjung. Biarpun di dekat pantai ini tersedia penginapan bertaraf bintang 3, tetap jarang wisatawan datang berkunjung. Padahal, menginap di hotel tersebut adalah peluang menyaksikan mentari terbit keesokan paginya–yang sulit diceritakan betapa bedanya matahari kita yang hanya satu itu dilihat dari Bangka.
Lain di Tanjung Pesona lain pula di Pantai Parai Tenggiri. Pantai Parai Tenggiri merupakan satu-satunya pantai yang telah dikelola dengan baik sebagai tempat wisata. Di sini segala fasilitas telah tersedia, mulai hotel bintang 4, restoran, hingga semua jenis olahraga air. Di sini Anda bisa bermain parasailing, banana boat, diving, atau jet ski.
Memang, belum lengkapnya fasilitas penunjang di Parai Tenggiri menyebabkannya belum bisa disebut sebagai sebuah destinasi wisata yang sempurna. Dan semata-mata masalah di sini adalah investor yang belum berani menanamkan modal.
Masalah akomodasi dan tranportasi memang menjadi kendala tersendiri dalam memajukan obyek wisata di Bangka. Sejauh ini, hotel berbintang di Bangka masih sangat terbatas. Begitu pula dengan transportasi. Angkutan umum di Bangka terbatas jumlahnya, dan waktu edar hanya sampai jam satu siang.
Obyek Wisata Budaya Di Bangka
Selain pantai, obyek wisata di Bangka yang lainnya adalah wisata budaya, salah satunya adalah Vihara Dewi Kwan In yang menyimpan air sakti. Taman Bunga Teratai Dewi Kwan In dibangun dan dimiliki oleh Hermanto, pria keturunan Cina yang merantau dari Jakarta. Alasan ia membangun vihara itu adalah karena mendapat ilham untuk membangun tiga tempat ibadah dalam satu kawasan di Bangka. Selain vihara, di tempat ini ada juga Musala Baiturrahman dan sebuah gereja.
Vihara ini dibangun menyerupai sebuah perahu. Alasannya, penumpang yang ada di dalam perahu tidak mengenal perbedaan warna kulit. Semuanya hanya percaya pada penentu berlayarnya perahu: sang nakhoda kapal. Yang paling istimewa, di tempat ini ada mata air sakti yang dipercaya bisa membuat awet muda. Air awet muda tersebut ditampung ke dalam sebuah kolam dan sumur; yang pertama untuk berendam dan yang kedua untuk diminum. Konon kabarnya, artis Titiek Puspa yang awet muda itu sering datang ke sini untuk berendam.
Ada lagi obyek wisata di Bangka yang wajib dikunjungi, yakni Desa Gedong, sebuah desa wisata yang seluruh penduduknya adalah warga keturunan Cina. Menurut Tjang Kweng Men, kepala dusun desa ini, penduduk di sini masih memegang teguh adat Cina. Bahkan, sehari-hari mereka pun masih menggunakan bahasa Cina untuk bercakap-cakap. Kecuali Bapak Amen, panggilan Tjang Kweng Men, penduduk di desa ini jarang sekali yang bisa berbahasa Bangka, apalagi bahasa Indonesia.
Desa wisata yang terletak di Kecamatan Belinyu ini terasa sangat lengang. Begitu melewati gerbang desa, hanya sepi yang menyapa. Memang, tampak beberapa warga duduk atau sembahyang di beranda, namun hanya dengan beberapa orang itu sepi tak terusir.
“Penduduk di sini memang jarang keluar rumah. Mereka keluar rumah hanya untuk bekerja,” cerita Pak Amen. “Namun, solidaritas masyarakat di sini sangat kuat. Misalnya, kalau ada pencuri atau kejadian apa pun di salah satu rumah, penduduk yang lain pasti datang membantu tanpa diminta,” tambahnya.
Menyusuri jalan setapak masuk semakin ke dalam desa, rasa sepi yang sempat hinggap perlahan hilang. Terlihat beberapa orang yang sedang sibuk bekerja di suatu rumah. Ya, mereka sedang membuat kerupuk dan empek-empek khas Bangka. Ternyata, selain berdagang, masyarakat di sini juga menciptakan industri rumah tangga: membuat makanan khas Bangka.
Desa Gedong ini karena masih sangat kental unsur kedaerahannya dan unsur budaya Cinanya, oleh Pemkab Bangka dijadikan sebagai desa wisata. Masalahnya, Desa Gedong belum diurus dengan benar meski sudah diproklamasikan sebagai desa wisata pada tahun 2000 lalu. Misalnya, desa ini belum terjangkau listrik, masih mengandalkan genset. Juga, bila musim hujan, banjir sering “berkunjung”. Rumah-rumah kayu milik penduduk pun menjadi tidak indah lagi kalau hiasan dinding rumah itu berupa garis cokelat bekas air banjir.
“Bangka pernah disebut sebagai laboratorium antropologi karena ada dua kebudayaan yang hidup dan berkembang di sini tanpa ada konflik,” kata Yan Megawandi, Kepala Dinas Pariwisata Bangka-Belitung. Pernyataan tersebut rasanya tidak salah kalau Anda sudah pernah berkunjung ke Bangka.
Di Bangka hidup dua kebudayaan besar, yakni Melayu dan Cina. Penduduknya pun hidup secara tenteram tanpa ada persaingan. Penduduk asli Bangka biasanya berprofesi sebagai pekerja ladang atau nelayan, sedangkan masyarakat keturunan Cina lebih banyak menjadi pedagang.
Kedua kebudayaan ini berpotensi menjadi magnet bagi wisatawan lokal maupun asing. Bukti budaya Cina masih hidup, pada hari-hari raya Cina banyak warga keturunan Cina yang “mudik” ke Bangka melalui Batam. Pada hari-hari besar itu, tiket pesawat selalu habis, dan penginapan pun terisi penuh.
Bangka berharap bisa menjadi alternatif destinasi wisata bagi warga Jakarta selain Puncak. Dibandingkan ke Puncak dari Jakarta yang macet itu, waktu tempuh menuju Bangka terasa singkat: hanya 50 menit dengan pesawat dari Bandara Soekarno-Hatta. Tampaknya, waktu yang singkat ini bisa menjadi awal promosi bagi destinasi Bangka ketika orang Jakarta selalu frustrasi bila berlibur ke Puncak.