Perbedaan media konvensional dan media sosial atau media baru yang kini berada di ruang digital. Seperti yang kita tahu media massa yang dulu kita butuhkan untuk mendapatkan informasi harus melewati banyak pengecekan untuk informasi sampai pada masyarakat. Ada editor yang mengecek layak naik atau tayang sehingga bisa dibaca, didengar dan ditonton masyarakat.
Berbeda dengan media sosial, para konten kreator itu multitasking bertindak sebagai editor, tim kreatif, mungkin videografer dan yang lainnya.
“Para pembuat konten di media sosial sebaiknya jangan dilupakan untuk juga bertindak sebagi editor. Sebab di media sosial tidak ada yang mengatur soal konten yang pantas atau tidak. Sehingga itu menjadi kewajiban atau yang harus dilakukan seorang content creator,” ujar Hanifah Fibianti Founder Molecula, Lembaga Komunikasi Massa di Indonesia.
Sehingga nantinya mereka harus menyadari bertanggung jawab atas apa yang mereka hasilkan. Konten yang dihasilkan media sosial harus bertanggun jawab karena publik digital tidak terbatas. Mereka selalu aktif setiap saat tidak mengen waktu, tempat yang siap memberi tanggapan karena publik digital itu tidak ada sekatnya.
Berbicara pada Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 di wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (1/6/2021), Hani juga menjelaskan soal data pribadi yang harus menjadi tanggung jawab kreator. Misalnya, sebuah foto yang sudah dihapus, tetapi mungkin di cloud belum terhapus. Di HP teman-teman juga belum terhapus sama sekali.
“Maka, data-data itu ketika ada di digital itu tersebar ke mana-mana sehingga seharusnya konten digital itu yang positif, menginspirasi memberi masukan berguna bagi publik kita di luar sana. karena jejak digital merupakan satu titik yang tidak bisa kita sembunyikan,” ungkapnya.
Makanya ada netiquette atau etika berjejaring alat untuk membatasi kita bukan melarang. Warga digital harus paham segala perbedaan di dunia maya dan kenyataan sehingga ketika akan berkomunikasi tidak menyinggung warga digital lainnya.
Misalnya, bahasa tulisan dengan bahasa lisan. Ketika akan posting sesuatu di media sosial sebagai bahasa tulisan harus selalu diingat apakah yang akan ditampilkan ini sesuai dengan kepribadian saya sebagai orang Indonesia.
“Sebab pada bahasa tulisan tidak ada mimik wajah, gestur yang mungkin saja membuat orang lain salah paham. Tidak mungkin untuk terus memposting video terus menerus agar terlihat mimik dan gestur kita,” ungkapnya.
Maka, gunakan tutur kata yang sesuai, bahasa yang baik dengan tulisan yang rapih dan jelas. Sebab, warga net itu seperti editor di media konvensional jika ada yang salah ketik pasti sudah dikomentari.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKomInfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (1/7/2021) ini juga menghadirkan pembicara Ismail Tahiti (Ketua RTIK Kab Sukabumi), Asep Kambali (Founder Historia Indonesia), I Gusti Ngurah Wikranta Arsa (TIK Bali) dan Yohana Djong (Key Opinion Leader).
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital melibatkan 110 lembaga dan komunitas sebagai agen pendidik Literasi Digital. Kegiatan ini diadakan secara virtual berbasis webinar di 34 Provinsi Indonesia dan 514 Kabupaten.
Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024. Berlandaskan 4 pilar utama, Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.