Berbicara mengenai soft skill yang dimiliki seseorang, nyatanya dapat digunakan untuk hal negatif atau positif. Sebut saja kemampuan menirukan, memanipulasi, modifikasi dan naturalisasi. Keempat kemampuan itu akan sangat berbahaya di dunia digital jika tidak memiliki ilmu soal literasi digital.
Jika tidak ada etika, budaya dan keamanan digital, kemampuan itu akan melahirkan pembuat hoaks. Hal tersebut di yang disampaikan Arnidah, dosen Universitas Negeri Makassar sekaligus Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO).
Menirukan ialah menyamarkan yang kita sudah pernah lihat, dengar, baca dan tonton. Sedangkan memanipulasi itu sudah ada unsur kreativitas. Karena itulah yang dilakukan para pembuat hoaks. Bagaimana mereka menirukan dan memanipulasi informasi yang sesuai dengan fakta menjadi bohong atau akun penyebar hoaks yang bisa mengikuti cara berkomunikasi para tokoh-tokoh sehingga bisa menarik perhatian.
Skill yang lain yaitu artikulasi modifikasi yang sudah lebih jauh lagi dan naturalisasi atau pengalamiahan seolah-olah benar. Sehingga masyarakat yang kurang literasi mudah termakan isu tersebut.
“Hoaks itu adalah berita bohong yang sengaja dibuat dan seolah-olah nyata, fakta dan asli. Skill ini berbahaya jika tidak dibungkus oleh budaya etika dan kemampuan untuk aman,” ungkap Arnidah saat menjadi pembicara dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kota Cimahi, Jawa Barat, Senin (19/7/2021).
Untuk level literasi digital masyarakat Indonesia tertinggi memang kemampuan teknologi orang Indonesia dalam menguasai beberapa software. Karena kemudahan kita meng-install aplikasi dan software itu sendiri.
“Namun keamanan juga perlu diperhatikan software itu apakah bajakan atau tidak. Jika pilih license yang legal itu pasti dekat dengan keamanan,ā ujarnya.
Literasi digital masyarakat Indonesia untuk komunikasi dan kolaborasinya sudah bagus. Sudah banyak media komunikasi yang sangat berkembang. Tapi apakah kita sudah menjadikan itu sebagai media-media berkolaborasi?
Terbukti, aktivitas relawan sudah melakukan ini dengan adanya banyak komunitas yang bisa kita tracing dan level literasi digital masyarakat Indonesia paling rendah adalah informasi. Jadi kita banyak mengadopsi meng-copy paste, tetapi bijak dan cerdas itu masih yang perlu harus dilatih.
“Pekerjaan bersama karena sebuah media digital itu meliputi hardware software dan brainware. Kecepatan teknologi ini berubah setiap detiknya sehingga yang menjadi pertanyaan adalah Apakah brainware ini siap dan itu bukan hanya menuntut kecakapan dari pengguna untuk menggunakan tapi ini juga harus holistik. Maka, mengapa literasi digital ini mempunyai empat skema karena memang harus holistik tidak berdiri sendiri-sendiri antara kecakapan, budaya,betika dan keamanan itu tidak bisa berdiri sendiri.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKomInfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kota Cimahi, Jawa Barat, Senin (19/7/2021) ini juga menghadirkan pembicara Bowo W. Suhardjo (Konsultan Bisnis), Sisi Suhardjo (Praktisi Humas dan Komunikasi) Didin Hafidhuddinda, dan Lady Salsabila sebagai Key Opinion Leader.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital melibatkan 110 lembaga dan komunitas sebagai agen pendidik Literasi Digital. Kegiatan ini diadakan secara virtual berbasis webinar di 34 Provinsi Indonesia dan 514 Kabupaten.
Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024. Berlandaskan 4 pilar utama, Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.