Jakarta Vakansi – Jakarta. Lagu berjudul ‘Malam Jum’at Kliwon’ di area mini konser Digra Coffee and Eat Etary, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, langsung pecah. Sekaligus menjadi penutup yang manis dari acara bedah buku berjudul “Berjuang di Sudut Sudut tak Terliput” karya Iqbal Aji Daryono. Tanpa ada komando, penonton pun langsung sing along. Lagu pembuka itu langsung membuncah, mengahiri dahaga nonton konser musik secara live di tempat terbuka dengan jamuan secangkir kopi.
Dengan didukung kekuatan sound mencapai 3000 watt Orkes Melayu Penghantar Minum Racun (OM PMR), lagu ‘Malam Jum’at Kliwon, dapat menjadi mukadimah yang mampu langsung menghangatkan suasana. Meski OM PMR lahir di tahun 1977, namun malam itu mayoritas penonton berada di generasi milenial dan Gen Z. Toh nyatanya, dari 10 lagu yang dibawakan oleh OM PMR yang bertepatan dengan hari Bhayangkara itu mereka mampu nyanyi dan hafal semua lagun dimana mereka belum pada lahir.
Malam itu, OM PMR hadir dengan 6 personil, Ajie PMR—Vokal, Ima Maranaan—Bass, Hary Muka Kapoor—Kendang, dan tiga diantaranya adalah additional. Warna musik, dan dentuman kendang masih terasa orisinil. Meski minus Jhonny Iskandar sebagai vokalis ikoniknya, namun penampilan Ajie Cetti Bahadur Syah atau Ajie PMR sebagai vokalis tetap mampu menyajikan kualitas suara khas PMR yang memiliki karakteristik, humor, apa adanya, dan tetap dicinta penggemarnya.
Beberapa lagu long listen alias sepanjang masa yang malam itu dibawakan diantaranya, Judul – judulan, Duit Duitan, Boneka India, Banjir di Malam Minggu, ditutup dengan lagu pamungkas berjudul ‘Bintaku Bintangmu’. Tidak hanya mampu bertahan ditengah gempuran genre musik dan pendengar di era kekinian, OM PMR yang selalu membawakan syair-syair humor, berdasarkan realitas sosial, bermasyarakat, dan mampu mengajak bergoyang ini, tetap mempunyai ruang tersendiri untuk dicintai para penggemarnya meski zaman telah berbeda.
Ajie PMR menjelaskan, resep OM PMR mampu bertahan hingga saat ini adalah kompak, dan selalu menjauhi narkoba. “Yang paling terpenting adalah jauhi narkoba,” ungkap Ajie, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima vakansi.
Setali tiga uang, untuk mengilustrasikan kondisi OM PMR dan kiprah insstitusi kepolisian sebagai alat negara sebagai pengayom masyarakat. OM PMR akan tetap eksis selama orkes yang mereka bawakan masih dicintai masyarakat.
“Suara kita biasa ajah sih. Yang namanya orkes itu, yang terpenting adalah bisa seneng dan happy bareng. Mereka (fans) nggak mikirin dan nggak terpengaruh mau suara bagus atau tidak bagus. Yang penting mereka hapal lagunya terus bisa nyanyi bareng,” terang Ajie.
Berbeda dengan realita sosial kepolisian. Alat negara yang satu ini, mereka harus mengikis citra buruk dimata masyarakat. Suara-suara minor akan stigma polisi masih begitu dominan. Sejatinya, banyak personal dari alat negara ini yang baik.
Sayangnya, publikasi polisi bercitra baik ini sangat minor. Faktanya, realita seperti ini benar-benar nyata adanya di seluruh penjuru negeri ini.
Iqbal Aji Daryono, penulis buku berjudul “Berjuang di Sudut Sudut tak Terliput” menangkap fakta masih banyak personal polisi yang baik, mampu mengurai permasalahan tanpa harus represif.
“Jika dianalogikan ke dalam algoritma sosial media, pembaca kita terjebak dalam cangkang-cangkang polarisasi. Mereka (pembaca) tidak mendapat informasi secara holistik, dan terbatas serta dipengaruhi oleh algoritma,” jelas Iqbal.
Dari blusukan Iqbal ke 27 provinsi di seluruh Indonesia yang kemudian ia bukukan itu, setiap daerah memiliki karakteristik atau sisi gelap lainnya. Sebut saja Sumatera Selatan dengan tingkat kriminalitasnya, disusul Poso, Sulawesi Tengah dengan terorisnya.
Institusi kepolisian di masing-masing daerah pun mempunyai pendekatan tersendiri untuk mengurai permasalahan. Itu sebabnya ada yang namanya Polisi Ustadz, Polisi Medis dan lainnya. Nama-nama tersebut menjadi bagian setrategi untuk melakukan tindakan secara persuasif dan humanis dalam mengurai masalah.
Agus Jabo Priyono, Aktivis sekaligus Pendiri Partai Prima dalam bedah buku malam itu menjelaskan, sebagai aktivis ia selalu bersingungan dengan aparat kepolisian yang selalu represif. Meski demikian, ia pun tidak menafikan dan meyakini masih banyak aparat kepolisian yang baik dan humanis.
“Saya rasa banyak cara bagi kepolisian untuk mengatasi permasalahan tanpa kekerasan. Contoh, sengketa tanah yang terjadi di Sumatera Barat dapat diselesaikan dengan pendekatan kultur dan religi yang berlaku disana,” terang Gus Jabo.
Sementara itu, Sunanto, akrab disapa dengan Can Nanto, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah menilai, buku “Berjuang Disudut-Sudut Tak Terliput” memiliki nilai positif selama didukung dengan sistem dari lembaganya itu sendiri.
“Kelemahan dari buku ini, sangat memungkinkan tidak ada kontinuitas agar ada regenerasi yang mengingatnya. Dan bahwa, kebaikan polisi ini dapat dikenang sepanjang masa. Hanya sebatas referensi untuk melakukan penggantian yang lebih baik,’ ungkapnya.
Masalah terbesar dalam buku ini, tambah Cak Nanto, belum ada penulisan tentang langkah-langkah untuk institusi menjadi lebih baik. Harus disertai dengan solusi. Misalnya, sebagai konstitusi, harus mampu membuat kebijakan-kebijakan di lembaganya sebagai pendorong bagi kepolisian untuk berlaku baik.
Dirasa benar adanya, jika didukung dengan sistem dan kebijakan yang baik dan tepat, beberapa divisi ‘horor’ seperti reskrim dan lantas Polri tidak seseram seperti yang ada dalam lagu-lagu OM PMR yaitu Malam Jum’at kliwon, yang mampu mencairkan suasana baik dari lirik maupun iramanya yang tak lekang oleh waktu.