Media sosial menjadi bagian dari kehidupan, hampir 50 persen kegiatan sehari-hari ada di media sosial. Perubahan pola kehidupan dari offline ke online menjadi penyebabnya. Mulai dari belajar, bekerja hingga bertemu kerabat semua dilakukan secara online.
Eksis di media sosial juga tidak lepas dari kewajiban yang harus dilakukan di sela-sela aktivitas. Penelitian dr. Shimi Kang, pakar kesehatan mental anak-anak dan dewasa media sosial di-setting untuk tertarik agar ada di sana terus menerus.
Koordinator Program Yayasan Semai Jiwa Amimni (Sejiwa) Andika Zakiy dalam Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 wilayah Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/6/2021) mengatakan, media sosial memang membuat penggunanya betah. Faktor penyebabnya ialah media sosial itu dapat membuat penggunanya mengeluarkan hormon dopamin.
“Hormon dopamin merupakan hormon kesenangan yang berkaitan dengan reaksi instan juga ketergantungan. Misalnya saat kita upload sesuatu di Instagram atau Facebook. Ketika ada orang yang like postingan kita atau ada orang yang berkomentar itu akan menimbulkan kesenangan pada diri kita. Semakin banyak orang yang like maka semakin senang. Kalau orang banyak yang komen kita juga jadi merasa banyak yang suka sama postingan saya,” jelasnya
Akhirnya ketika kita lakukan secara terus-menerus terus pada akhirnya kita menjadi ketergantungan pada pada sosial media. “Ketika kita sudah kecanduan jika sewaktu-waktu kita tidak mendapatkan hal tersebut. Kita akan mencari cara bagaimana caranya supaya bisa dapat like lagi dan komentar banyak,” tambahnya.
Dari sini sudah terlihat langkah yang harus dilakukan mereka yang sudah terlanjur senang dengan like dan komentar di media sosial. Jalan membuat konten viral menjadi pilihan, viral yang positif tidak masalah. Namun selama ini konten viral di Indonesia sesuatu yang konyol cenderung negatif.
Andika menyayangkan jika anak-anak dan remaja mengutamakan membuat konten dengan tujuan viral. Padahal jika mereka tidak mengutamakan membuat konten yang positif ini akan menciptakan jejak digital yang buruk bagi diri mereka. Mungkin tidak saat ini dampaknya, tapi bisa terasa pada beberapa tahun kemudian adapun misalnya berpuluh-puluh tahun kemudian. Saat anak tersebut nanti melamar pekerjaan atau mendaftar beasiswa.
“Jejak digital ini mungkin bisa jadi seperti bom waktu tidak akan terasa sekarang tapi nanti akan merasakan dampaknya,” ucapnya.
Jejak digital ini harus selalu diingatkan para generasi muda. Agar mereka dapat bertanggung jawab atas karya yang dihasilkan. Presiden Joko Widodo juga berharap masyarakat membanjiri ruang digital dengan konten positif agar konten negatif tenggelam.
Webinar di wilayah Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/6/2021) ini juga menghadirkan pembicara lain yaitu Istia Budi (RTIK Kaltim), Astini Kumala Sari (Travel Blogger), Ari Wibowo (Siberkreasi), dan selebgram Indi Arisa.
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 ā untuk Indonesia #MakinCakapDigital yang diprakarsai Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Siberkreasi ini merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.