Di dunia digital kini manusia dengan mudahnya saling menebar kebencian. Padahal, menurut Dedy Helsyanto, Kordinator program Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) hal tersebut merupakan bentuk keegoisannya sebuah kelompok, eksklusivitas dan intoleransi. Mereka hanya melihat dirinya dan tidak peduli sesama akhirnya melakukan pencemaran nama baik dan melakukan provokasi yang membuat kita terpecah tak terpolarisasi di ruang digital.
Contoh peristiwanya dapat dilihat saat 2019. Saat momen pemilu serentak lalu masyarakat terbagi dalam dua kubu. Julukan cebong ataupun kampret disematkan untuk mendukung capres 1 dan 2.
“Kami Mafindo ini juga kena julukan mereka, saat kami melakukan pemeriksaan fakta yang menyerang Pak Jokowi, kami disebut cebong. Ketika akan melakukan pemeriksaan Pak Prabowo kami dijuluki kampret. Makanya kami sering diledek Bongmpret spesies baru atau gabungan dari kedua spesies ini,” ungkapnya dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital Nasional 2021 untuk wilayah Pangandaran, Jawa Barat Kamis (10/6/2021).
Hingga kini sebutan itu masih sering dilontarkan walaupun jumlahnya atau presentasinya tidak sebesar pada saat pelaksanaan pemilu. Kelompok seperti itu menjadi sasaran empuk hoaks, karena selalu mendapatkan informasi yang sama mengenai golongannya.
Maka, penting bagi mereka untuk mendeteksi hoaks. Aribowo Sasmito, Co-founder & Fact Check Specialist Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menjelaskan bagaimana cara mendeteksi hoaks, di antaranya informasi tersebut menggunakan kata yang janggal dan cenderung provokatif. Bahkan tidak jarang langsung menyulut emosi.
“Kelompok intoleran lebih cepat emosi jika ada informasi yang provokatif padahal termasuk ciri-ciri hoaks. Termasuk adanya ajakan untuk menyebarkan kembali pesan tersebut,” ujarnya.
Informasi hoaks sering mengutip lembaga terkenal namun hanya mengutip judul media sepotong-potong dengan susunan kalimat yang kadang tidak terstruktur, secara logika tidak masuk akal tetapi dibuat seolah-olah meyakinkan.
Penting literasi digital, sehingga ketika mendapatkan informasi yang tidak meyakinkan, sebaiknya memang mencari kata kunci terkait info yang akan dicari kebenarannya. Kemudian cek di Google dengan menuliskan kata kunci tersebut atau buka turnbackhoax.id atau cek fakta.com.
“Ketika mendapat informasi sebaiknya tidak langsung dibagikan ulang. Dikenal dengan istilah saring sebelum sharing, mengingatkan para warga net Indonesia untuk mencari tahu kebenaran,” sambungnya. Jika memang benar, tetap harus disaring apakah ini bermanfaat, kemudian apakah memang penting. Langkah ini juga mencegah tumpahnya informasi yang begitu banyak di masyarakat yang dikhawatirkan malah membuat bingung
Gerakan Literasi Digital Nasional 2021 merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia Kegiatan ini diprakarsai Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemkominfo RI) bersama Siberkreasi. Dalam webinar wilayah Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Kamis (10/6/2021) juga turut hadir Septiaji Eko, Ketua Presidium Mafindo dan Content Creator Clarissa Darwin sebagai Key Opinion Leader (KOL).
Gerakan Literasi Digital Nasional 2021 merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada tahun 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.