Jakarta, Vakansi – Pesatnya perkembangan teknologi informasi menuntut orang tua dan pendidik untuk lebih cepat beradaptasi dalam mengawasi aktivitas anak, mendidik serta melindungi dari ancaman yang ada di dunia daring. Memahami hal tersebut, Childfund International di Indonesia (CFI) kali ini hadir dengan langkah strategis untuk menggandeng jurnalis dalam memperkenalkan program Swipe Safe guna membentuk kultur digital yang positif, serta membantu orang tua dan tenaga pendidik dalam menavigasi dunia maya dengan lebih baik.
Hal ini disampaikan Reny Haning, Spesialis Perlindungan Anak dan Advokasi ChildFund International di Indonesia pada Media Briefing Swipe Safe Initiative di Jakarta (17/3/2023).
Swipe Safe adalah inisiatif yang dilakukan oleh CFI dengan dukungan dari ChildFund Australia dan Australia Government. Program Inisiatif ini bertujuan agar masyarakat dapat menavigasi internet dengan aman melalui edukasi anak, orang tua, penyedia layanan dan sekolah mengenai potensi risiko online. Juga lewat pemberian keterampilan praktis bagaimana melindungi diri mereka dari risiko eksploitasi seksual, kekerasan seksual, penipuan dan peretasan di dunia online. “Inisiatif Swipe Safe juga bekerja sama dengan sekolah untuk mengembangkan kebijakan sekolah dan prosedur keamanan online bagi anak,” jelas Reny.
Berdasarkan kajian tentang eksploitasi, kekerasan seksual dan perundungan online di Indonesia yang diluncurkan CFI pada Desember 2022 terungkap bahwa eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) secara daring telah berkembang menjadi berbagai bentuk; tidak hanya dalam bentuk produksi, kepemilikan, dan distribusi materi pelecehan dan eksploitasi seksual anak secara daring, tetapi telah diperluas menjadi live streaming pelecehan seksual anak, online grooming serta pemerasan dan pemaksaan seksual.
ChildFund menemukan ESKA dapat menjadi masalah yang kompleks, dan anak-anak mungkin mengalami banyak eksploitasi dalam satu rangkaian kejahatan. Kajian menunjukkan bahwa teknologi dapat digunakan untuk memperluas kekerasan di kehidupan nyata.
Lebih jauh, sebanyak 5 dari 10 anak usia 13-24 tahun menjadi pelaku perundungan online, sementara 6 dari 10 orang muda menjadi korban. Dalam rentang usia 13-24 tahun, anak berusia 13-15 tahunlah yang memiliki kerentanan tertinggi menjadi korban perundungan (64,5%).
Anak laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama menjadi pelaku atau korban perundungan online. Namun, anak laki-laki memiliki kemungkinan tinggi menjadi pelaku, sementara anak perempuan menjadi korban. Sementara itu, siswa SMA lebih mungkin menjadi pelaku dan korban perundungan online dibanding siswa SMP ataupun mahasiswa perguruan tinggi.
Putu Andini, Psikolog Anak dan Co-Founder TigaGenerasi menjelaskan, perilaku perundungan online sangat berkaitan dengan pengawasan serta peran dari orang tua, tenaga pendidik hingga media.
“Bahkan, orang tua yang kurang terlibat dalam mengawasi apa yang dilakukan anak mereka secara daring, bisa menjadi pemicu keterlibatan anak dalam perilaku perundungan online. Jika dibiarkan, dampak perundungan online bisa memengaruhi anak hingga usia dewasa, baik bagi pelaku maupun korban,” jelas Putu.
Putu juga menambahkan, perundungan online mampu memengaruhi bagaimana anak mempersepsikan dirinya dan dunia di sekitarnya. Persepsi ini tidak hanya terbentuk dari satu kejadian perundungan online yang dialami, namun bisa juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pemberitaan yang tidak ramah anak.
“Korban cenderung membatasi aktivitas mereka di media sosial. Trauma yang dialami menyebabkan korban menarik diri dari interaksi sosial seperti kehidupan publik dan teman, termasuk kehidupan sekolah yang pada akhirnya membatasi hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang baik,” sambung Reny.
Media massa sebagai kanal informasi tentunya memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi baru dan mendidik masyarakat tentang wawasan dan perspektif baru, khususnya terkait pemberitaan yang ramah anak.
“Kurangnya pemahaman dan kesadaran yang baik akan perundungan online, termasuk kompetensi digital yang memadai, bisa menjadikan orang tua dan tenaga pendidik menganggap internet tidak berbahaya. Sehingga mereka cenderung kurang mengawasi aktivitas daring sang anak. Karena itulah diperlukan adanya partisipasi dari media massa untuk turut mengedukasi orang tua dan tenaga pendidik sebagai bekal dalam mengawasi serta menanggapi kasus-kasus kekerasan pada anak dan orang muda yang ada di dunia daring,” papar Reny.
Rini Suryati selaku Ketua Forum Wartawan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Fortapena) mengatakan dalam perjalanannya, media massa telah berkembang menjadi saluran komunikasi yang masif dan berdampak besar dalam sendi kehidupan masyarakat.
“Besarnya pengaruh media terhadap kehidupan masyarakat ini terkadang menjadi suatu permasalahan, terlebih ketika kebebasan yang ada di media massa justru disalahgunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, kita sebagai jurnalis harus menjadi lebih peka dan peduli untuk terus bersama memberikan edukasi terbaik untuk masyarakat, khususnya melalui pemberitaan yang ramah anak,” jelas Rini.
Sebagai bagian dari gerakan global, CFI senantiasa membawa arahan strategis guna mengatasi isu-isu akibat perubahan dunia yang cepat, dengan meningkatkan kolaborasi orang tua, tenaga pendidik dan media dalam mewujudkan dunia ramah anak.
“Salah satu isu yang menjadi arah strategi ChildFund Internasional tahun ini adalah perlindungan anak dan orang muda di dunia daring. Ini tentunya membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak, khususnya orang tua, tenaga pendidik dan media secara umum. Untuk itu CFI menghadirkan berbagai program pelatihan dan edukasi guna meningkatkan kesadaran, pemahaman dan literasi orang tua, tenaga pendidik dan jurnalis dari melindungi anak dan remaja dari perundungan online,” tutup Reny.