Media sosial bisa membantu manusia dalam menjalin hubungan dan kerja sama dengan cara memangkas durasi waktu dan memperpendek jarak. Hal tersebut dikatakan oleh Pipit Djatma selaku Fundraiser Consultant & Psychosocial Activis IBU Foundation. Akan tetapi, media sosial juga bisa dijadikan alat melakukan tindak kejahatan, contohnya ujaran kebencian.
Ujaran kebencian itu bisa berarti tindakan komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, atau hinaan kepada individu atau kelompok lain. Ujaran kebencian ini yang banyak diutarakan mengenai suku, agama, ras, warna kulit, antargolongan, etnis, gender, orientasi seksual, dan lainnya.
“Makanya banyak banget terjadinya SARA di negara kita karena perbedaan pendapat dan banyak orang yang menyebar ujaran kebencian,” tutur Pipit saat mengisi Webinar Literasi Digital wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (30/8/2021).
Menurutnya, motif orang dalam menyebarkan ujaran kebencian terdiri dari dua faktor. Pertama faktor dari dalam diri yang tidak bisa menerima perbedaan pendapat atau tidak menyukai sesuatu hal dari orang atau kelompok tertentu. Kedua, faktor dari luar diri yakni terpengaruh lingkungan pertemanan atau komunitas tertentu.
Dampaknya, ujaran kebencian yang banyak di media sosial itu menimbulkan diskriminasi, kekerasan, sanksi sosial, kehilangan reputasi baik, konflik sosial, bahkan penghilangan nyawa. Bagi pelaku penyebar ujaran kebencian pun akan terkena UU ITE dan bisa dipidanakan.
Dengan demikian, dalam menggunakan media sosial dan platform digital lainnya perlu menerapkan etika digital. Etika digital ini mengukur kemampuan seseorang dalam menyadari, mencontohkan, dan menyesuaikan diri dalam menggunakan internet di kehidupan sehari-hari secara etis.
“Etika ini dibawa pada saat menggunakan internet. Jadi, etika digital sebenarnya gampang di praktikkan karena pada dasarnya etika dunia nyata dan etika berdigital hampir sama,” ungkapnya.
Menurut paparan dari Pipit, etika digital yang bisa diterapkan yaitu mengingat keberadaan orang lain di media digital, taat pada standari perilaku sebagaimana di dunia nyata, berpikir sebelum berkomentar, menghormati waktu dan bandwidth orang lain, menggunakan bahasa yang sopan dan santun.
Ia melanjutkan, berbagi ilmu dan keahlian di dunia digital, menghormati privasi orang lain, tidak menyalahgunakan kekuasaan, serta memaafkan orang lain yang membuat kesalahan di internet.
Peran kita sebagai pengguna dalam melawan ujaran kebencian serta dampak negatif lainnya dari internet, bisa dengan membekali diri dan orang sekitar dengan edukasi terkait internet, belajar mengendalikan dan menahan diri, mencari tahu kebenenaran setiap berita yang kita dapatkan, berinternet untuk hal-hal positif, serta menjadi teladan bagi diri sendiri, masyarakat, dan lingkungan kita.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (30/8/2021) juga menghadirkan pembicara, Daniel Hermansyah (CEO of Kopi Chuseyo), Alda Dina Bangun (Guru SD Cahaya Bangsa-Kota Baru Parahyangan), Taufik Hidayat (Kepala UPT IT & Dosen Fakultas Teknik Universitas Islam Syeikh Yusuf), dan Vivian Wijaya (Key Opinion Leader).
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.