Internet bisa memberikan keuntungan apabila kita menggunakannya dengan sehat, seperti menambah wawasan, terhibur, media promosi, menjadi terkenal, mendapatkan pekerjaan, dan lain sebagainya.
Namun realita berkata sebaliknya, saat ini internet kerap kali menampilkan konten-konten negatif yang berdampak juga pada penggunanya, seperti cyberbullying, hoaks, ujaran kebencian, kekerasan, pelecehan seksual, dan lain-lain.
“Sekarang ini di saat maraknya orang bergerak di dunia digital. Kita juga merasakan cabin fever sebagai dampak dari pandemi, seperti bosan, perubahan pola makan, cemas, gelisah, dan depresi,” ujar Dila Karinta, Enterprise Consultant at Digital Economy Coorporation dalam Webinar Literasi Digital wilayah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (26/10/2021).
Ia menyampaikan, dampak cabin fever tersebut juga berdampak pada sikap dan perilaku netizen di Indonesia. Sehingga pada akhirnya menjadikan netizen negara kita ini mendapat julukan sebagai netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Dalam penjelasan Dila, hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, anonimitas di internet di mana identitas kita bisa dibuat anonim tidak seperti pada dunia nyata, jadi penggunanya lebih merasa bebas untuk berbuat apapun. Kedua, asinkronisitas di mana ketika kita berkomentar atau email bisa balas dalam jangka waktu yang lama.
Ketiga, solipsistic introjection yakni suara yang kita pasangkan sendiri saat membaca pesan teks. Hal ini kenapa orang-orang sering salah menanggapi dan mengartikan suatu pesan. Keempat, imajinasi disosiatif yang membuat pengguna merasa bahwa apapun akun yang dibuat di media sosial tidak mewakili diri mereka sebenarnya. Kelima, minim status dan kekuasaan.
“Orang lain yang tidak sopan itu mungkin juga karena stress dan kecemasannya meningkat di masa pandemi ini. Jadi kita harus ingat bahwa apa yang dilakukan di dunia maya itu sungguh berdampak di dunia nyata. Pastikan yang kita lakukan itu bermanfaat,”
Menurutnya, kebutuhan manusia di dunia sosial kita saat ini memiliki keterlibatan, peran, dan kasih sayang di mana kita jadi merasa memiliki kesamaan dan kesetaraan. Dila menuturkan, hal ini juga yang menjadikan pengguna merasa orang lain perlu merasakan apa yang ia rasakan. Misalnya, kita membaca berita negatif maka kita merasa bahwa orang lain pun harus membaca berita tersebut.
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Siberkreasi. Webinar wilayah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (26/10/2021) juga menghadirkan pembicara, Andry Hamida (Head of Creative Visual Brand Hello Monday Morning), Cyntia Jasmin (Founder GIFU), Eddy Purnomo (Digital Business Project Manager OCBC), dan Amanda Gratiana (Creatove Direvtor Ghea Resort & Founder of HOPE).
Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 – untuk Indonesia #MakinCakapDigital merupakan rangkaian panjang kegiatan webinar di seluruh penjuru Indonesia. Kegiatan ini menargetkan 10.000.000 orang terliterasi digital pada tahun 2021, hingga tercapai 50 juta orang terliterasi digital pada 2024.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya Budaya Bermedia Digital (Digital Culture), Aman Bermedia (Digital Safety), Etis Bermedia Digital (Digital Ethics), dan Cakap Bermedia Digital (Digital Skills) untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.