Ada peperangan di Pura Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Minggu (3/12/2017) sore. Jangan salah sangka dulu, peperangan itu bukan suatu kericuhan. Tidak ada senjata tajam, amunisinya juga bukan dari peluru. Melainkan dengan ketupat, peperangan itu merupakan suatu atraksi budaya tahunan.
Ribuan masyarakat tumpah ruah, begitu juga dengan ratusan wisatawan mancanegara yang menggunakan pakaian adat yang datang ke Pura Lingsar. Lokasi tersebut merupakan satu cagar budaya dari abad XVIII itu.
Para umat islam dan hindu dari sejumlah wilayah di Lombok Barat datang memenuhi area pura untuk berperang. Begitu kedua kubu bertemu, aksi saling lempar tak terelakkan. Anak-anak hingga orang tua larut dalam peperangan. Namun, tak ada darah, dan juga air mata.
Perang ini justru menimbulkan gelak tawa dan rasa gembira. Perang yang dikenal dengan sebutan Perang Topat ( merupakan tradisi yang berlangsung turun-temurun dan masih terjaga hingga kini.
Sebelum prosesi perang topat yang didukung Kementerian Pariwisata dimulai, sebagian massa mengambil tempat di halaman Pura Gaduh, yang menjadi tempat persembahyangan umat Hindu. Sedangkan, sebagian lagi berada di halaman depan bangunan Kemaliq, yang disakralkan bagi sebagian masyarakat umat Islam.
Wakil Gubernur NTB Muhammad Amin mengatakan, perang topat merupakan tradisi budaya yang harus dilestarikan. Karena perang topat merupakan wujud nyata toleransi kerukunan umat beragama di Lombok. Sehingga, tradisi perang topat memiliki daya tarik bagi sektor pariwisata NTB.
“Perang yang tidak ada pernah ada rasa menang dan kalah. Ini event budaya yang terus kita lestarikan dan kembangkan,” kata Amin dalam sambutannya sebelum membuka prosesi Perang Topat.
Fauzan Khalid, Bupati Lombok Barat, menambahkan, event ini memberikan contoh dan keteladanan dalam mempraktekkan kerukunan antar umat beragama. Karena umat islam dan umat hindu saling berperang tapi penuh dengan kegembiraan. Dalam sejarahnya para leluhur kita menjaga budaya toleransi dan silaturahmi dua agama tersebut.
“Sejarahnya perang topat ini adalah waktu orang hindu datang ke Lombok khususnya Ke Lingsar masyarakatnya siap menyambut dengan persenjataan. Tapi berkat masukan dari para tuan guru persenjataan itu diganti dengan topat. Untuk mengenang sejarah itu maka kami mengadakan perang topat di Taman Lingsar,” paparnya.
Lanjut Fauzan, Uniknya, masyarakat akan membawa tupat yang digunakan perang untuk di bawa kesawah untuk menjadi pupuk untuk petanda kesuburan.
Kepala Dinas Pariwisata Lombok Barat Ispan Junaidi, menjelaskan, perang topat ini merupakan prosesi religi dan budaya, yang kita kemas menjadi atarksi wisata. Festival ini menjadi salah satu calender of event di Lombok Barat, mudah-mudahan ini bisa meningkat dan dikenal lagi hingga dunia.
“Perang Topat ini tidak ada rasa menang dan kalah. Atraksi ini kita pertahankan sebagai salah satu bentuk toleransi beragama yang dicanangkan presiden. Tidak ada perpecahan antara umat Hindu dan umat Islam. Akhrinya nanti, akan timbul simbol-simbol perdamaian di festival ini, sehingga diharapkan menjadi deatinasi kelas dunia,” harap ispan.